Perintah Kaisar Naga Bab 5542

Perintah kaisar naga

Perintah Kaisar Naga Full Episode

A Man Like None Other novel free english

Bab 5542 dari Perintah Kaisar Naga: Jangan Pernah Lupa

    Lagipula, Im Yoona telah menemukan dua wanita untuk menemani Hu Mazi.

Kembali sekarang akan menjadi kesempatan bagus untuk melanjutkan kesenangan mereka.

Namun, itu akan sulit bagi kedua pelayan itu; mereka kesulitan berjalan setelah disiksa oleh Hu Mazi.

David mengangguk dan berkata, “Baiklah, kalau begitu, ayo kita pergi ke Kabupaten Dongxiang.”

David setuju untuk kembali ke Kabupaten Dongxiang karena ia ingin melihat apakah Liontin Giok Tanpa Bayangan Darah dapat membantu memulihkan jiwa ayah Im Yoona.

Meskipun ia tahu jiwa ayahnya telah diserap, Aula Dao Jahat sangat memahami seluk-beluk jiwa, dan mungkin ada cara lain untuk memulihkannya.

Tanpa ragu, kedua pria itu menuju Kabupaten Dongxiang.

Angin dan pasir terus mengamuk, menderu dan berlari kencang di langit seperti binatang buas yang mengamuk.

Namun, suasana hati David dan Hu Mazi benar-benar berbeda dari saat mereka tiba.

Dulu, mereka dipenuhi ketidakpastian dan keinginan untuk mengungkap kebenaran; sekarang, mereka merasakan ketenangan dan keyakinan.

Berjalan menembus malam yang kelam, mereka tiba di gerbang Kabupaten Dongxiang sekali lagi.

Di bawah cahaya redup, gerbang kota tampak kuno dan khidmat, bagaikan seorang penjaga yang diam, menyaksikan naik turunnya kota. Ketika

para prajurit yang menjaga kota melihat mereka, secercah kekaguman langsung terpancar di mata mereka, dan mereka bergegas dan dengan hormat memberi jalan, tak berani menghalangi mereka sedikit pun.

Bagaimanapun, aura kuat yang dilepaskan David terakhir kali bagaikan gunung yang menjulang tinggi, menekan mereka begitu keras hingga mereka tak bisa bernapas, dan mereka masih mengingatnya dengan jelas.

Keagungan dan kekuatan yang terkandung dalam aura itu membuat mereka merasakan ketakutan dan kekaguman dari lubuk hati mereka.

Hu Mazi memandangi penampilan para prajurit yang penuh hormat, sudut mulutnya sedikit terangkat, dan ia berkata sambil tersenyum: “Aku tak menyangka para prajurit Kabupaten Dongxiang begitu bijaksana. Lihatlah betapa ketakutannya mereka, seolah-olah kita ini semacam banjir dan binatang buas.”

David tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan ketidakpedulian yang melampaui dunia biasa. Ia berkata, “Kekuatan menentukan segalanya; itulah hukum alam abadi. Di dunia yang hanya ada satu kekuatan yang mampu bertahan, hanya dengan kekuatan luar biasa seseorang dapat membangkitkan rasa hormat dan kekaguman.”

Keduanya memasuki kota. Jalanan masih terang benderang, seolah seterang siang hari.

Para pedagang berjejer di sepanjang jalan, menjajakan beragam barang: hidangan harum, senjata ajaib yang luar biasa, dan segala macam peralatan aneh. Suasana ramai.

Suasana ramai itu seolah mencerminkan vitalitas dan energi kota.

“Ayo kita ke kediaman Lin dulu,”

kata David, sedikit memiringkan kepalanya untuk menyapa Hu Mazi.

Tatapannya tegas dan tenang, seolah ia sudah siap menghadapi apa pun.

Hu Mazi mengangguk, secercah harapan terpancar di matanya.

Lagipula, ia tak bisa melupakan selera kedua pelayan itu.

Kedua dayang itu lembut dan anggun, bagaikan bunga di musim semi, dan setiap kali membayangkan mereka membuatnya gatal.

Keduanya segera tiba di kediaman Lin. Rumah besar itu megah, gerbang merahnya yang megah dan megah. Singa-singa batu di depan gerbang tampak megah, seolah menjaga kedamaian rumah besar itu.

Ketika Lin Yuner mendengar para pelayan melaporkan bahwa David dan Hu Mazi telah kembali, ia sangat gembira dan bergegas keluar, roknya terangkat.

Rambutnya berkibar lembut saat ia berlari, bagaikan satin hitam. Wajahnya penuh kejutan, dan matanya yang cerah berbinar gembira.

“Teman Chen, Tuan Hu, Anda kembali!”

Suara Lin Yuner yang tajam bergema di udara, bagaikan not musik terindah di dunia.

Matanya mengamati kedua orang itu, seolah mencari sesuatu, dengan sedikit kecemasan dan antisipasi di matanya.

“Nona Lin, kami kembali.”

David mengangguk sedikit, nadanya tenang dan mantap.

“Lalu… lalu jiwa ayahku…” Lin Yuner bertanya dengan gugup, tangannya tanpa sadar mencengkeram ujung pakaiannya, dan butiran keringat halus muncul di dahinya.

« Bab SebelumnyaDaftar IsiBab Selanjutnya »